PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
[ SUATU KAJIAN UPAYA PEMBERDAYAAN ]
Oleh Hujair AH. Sanaky
1. Pendahuluan
Pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu upaya mewariskan nilai,
yang akan menjadi penolong dan penentu umat manusia dalam menjalani kehidupan,
dan sekaligus untuk memperbaiki nasib dan peradaban umat manusia. Tanpa
pendidikan, maka diyakini bahwa manusia sekarang tidak berbeda dengan generasi
manusia masa lampau, yang dibandingkan dengan manusia sekarang, telah sangat
tertinggal baik kualitas kehidupan maupun proses-proses pembedayaannya. Secra
ekstrim bahkan dapat dikatakan, bahwa maju mundurnya atau baik buruknya
peradaban suatu masyarakat, suatu bangsa, akan ditentukan oleh bagaimana
pendidikan yang dijalani oleh masyarakat bangsa tersebut.
Dalam konteks tersebut, maka kemajuan peradaban yang dicapai umat manusia dewasa ini, sudah tentu tidak terlepas dari peran-peran pendidikannya. Diraihnya kemajuan ilmu dan teknologi yang dicapai bangsa-bangsa di berbagai belahan bumi ini, telah merupakan akses produk suatu pendidikan, sekalipun diketahui bahwa kemajuan yang dicapai dunia pendidikan selalu di bawah kemajuan yang dicapai dunia industri yang memakai produk lembaga pendidikan.
Proyeksi keberadaan dan kenyataan pendidikan, khususnya pendidikan
Islam, tentu tidak dapat dilepaskan dari penyelenggaraannya pada masa lampau
juga. Pendidikan [Islam] pada periode awal [masa Nabi saw] misalnya, tampak
bahwa usaha pewarisan nilai-nilai diarahkan untuk pemenuhan kebutuhan manusia
agar terbebas dari belenggu aqidah sesat yang dianut oleh sekolompok masyarakat
elite Qureisy yang banyak dimaksudkan sebagai sarana pertahanan mental
untuk mencapai status quo, yang melestarikan kekuasaan dan menindas
orang-orang dari kelompok lain yang dipandang rendah derajatnya atau menentang
kemauan kekuasaan mereka.
Gagasan-gagasan baru yang kemudian dibawa dalam proses pendidikan
Nabi, yaitu dengan menginternalisasi nilai-nilai keimanan baik secara
individual maupun kolektif, bermaksud menghapus segala keperyaan jahiliyah yang
telah ada pada saat itu. Dalam batas yang sangat meyakinkan, pendidikan Nabi
dinilai sangat berhasil dan dengan pengorbanan yang besar, jahiliyahisme masa
itu secara berangsur-angsur dapat dibersihkan dari jiwa mereka, dan kemudian
menjadikan tauhid sebagai landasan moral dalam kehidupan manusia.
Proses pendidikan yang dilakukan Nabi, yang aksentuasinya sangat
tertuju pada penanaman nilai aqidah [ketauhidan], keberhasilan yang dicapainya
memang sangat ditunjang oleh metode yang digunakannya. Pada proses pendidikan
awal itu, Nabi lebih banyak menggunakan metode pendekatan personal-individual.
Dalam meraih perluasan dan kemajuaannya, baru kemudian diarahkan pada metode
pendekatan keluarga, yang pada gilirannya meluas ke arah pendekatan masyarakat
[kolektif].
Pengembangan pendidikan Islam yang telah ada itu, yang pada
awalnya lebih tertuju pada pemberdayaan aqidah, diupayakan Nabi dengan
menempatkan pendidikan sebagai aspek yang sangat penting, yang tercermin dalam
usaha Nabi dengan menggalakkan umat melalui wahyu agar mencari ilmu
sebanyak-banyaknya, dan setinggi-tingginya. Masjid-masjid, pada periode awal
itu, bahkan menjadi pusat pengembangan ilmu dan pendidikan, sekalipun masih
mengkhususkan pada menghafal al-Qur’an, belajar hadis, dan sirah Nabi. Disiplin-disiplin
lain seperti filsafat, ilmu kimia, matematika, dan astrologi kemudian juga
berkembang, namun tidak dimasukkan dalam kurikulum formal. Semua disiplin ini
diajarkan atas dasar kesadaran orang tua untuk mencarikan guru demi kemajuan
anaknya [Aziz Talbani, terjemahan A. Syafii Maarif, 1996:2].
Pada era abad ke-20 ini, pendekatan pendidikan Islam berlangsung
melalui proses operasional menuju pada tujuan yang diinginkan, memerlukan model
yang konsisten yang dapat mendukung nilai-nilai moral-spritual dan intelektual
yang melendasinya, sebagaimana yang pertama kali dibangun Nabi. Nilai-nilai
tersebut dapat diaktualisasikan berdasarkan kebutuhan dan perkembangan manusia
yang dipadukan dengan pengaruh lingkungan cultural yang ada, sehingga dapat
mencapai cita-cita dan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia
disegala aspek kehidupannya. Tetapi apa yang terjadi, kondisi pendidikan Islam
pada era abad ke-20, mendapat sorotan yang tajam yang kurang menggembirakan dan
dinilai menyandang “keterbelakangan” dan julukan-julukan yang lain, yang
semuanya bermuara pada kelemahan yang dialaminya. Kelemahan pendidikan Islam
dilihat justru terjadi pada sector utama, yaitu pada konsep, sistem, dan
kurikulum, yang dianggap mulai kurang relevan dengan kemajuan peradaban umat
manusia dewasa ini atau tidak mampu menyertakan disiplin-disiplin ilmu lain
yang relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Kenyataannya yang ada ini, memasukkan pendidikan Islam dalam
klasifikasi yang belum dapat dikatakan telah berjalan dan memberikan hasil
secara memuaskan. Hal ini mempunyai pengertian belum mampu menjawab arus
perkembangan zaman yang sangat deras, seperti timbulnya aspirasi dan idealitas
yang serba multi interes dan berdemensi nilai ganda dengan tuntutan hidup yang
amat beragam, serta perkembangan teknologi yang amat pesat [Hifni Muchtar,
1992:52].
Melihat kenyataan ini, maka tak ayal lagi bahwa pendidikan Islam
perlu mendapat perhatian yang serius dalam menuntut pemberdayaan yang harus
disumbangkannya, dengan usaha menata kembali keadaannya, terutama di Indonesia.
Keharusan ini, tentu dengan melihat keterkaitan dan peranannya di dalam usaha
pendidikan bangsa Indonesia yang mayoritas muslim, sehingga perlu ada terobosan
seperti perubahan model dan strategi pelaksanaannya dalam menghadapi perubahan
zaman.
Usaha penataan kembali akan memperoleh keuntungan majemuk, karena:
Pertama, pendidikan Islam subsistem pendidikan nasional di Indonesia,
akan dapat memperoleh dukungan dan pengalaman posetif. Kedua, pendidikan
Islam dapat memberikan sumbangan dan alternatif bagi pembenahan sistem
pendidikan di Indonesia dengan ragam kekurangan, masalah, dan kelemahannya. Ketiga,
sistem pendidikan Islam yang dapat dirumuskan akan memiliki akar yang lebih
kokoh dalam realitas kehidupan kemasyarakatan [Suyata, 1992: 23].
2. Pendidikan Islam dan Masalahnya
Pendidikan Islam yang bermakna usaha untuk mentransfer nilai-nilai
budaya Islam kepada generasi mudaya, masih dihadapkan pada persoalan dikotomis
dalam sistem pendidikannya. Pendidikan Islam bahkan diamati dan disimpulkan
terkukung dalam kemunduran, kekalahan, keterbelakangan, ketidakberdayaan,
perpecahan, dan kemiskinan, sebagaimana pula yang dialami oleh sebagian besar
negara dan masyarakat Islam dibandingkan dengan mereka yang non Islam. Bahkan,
pendidikan yang apabila diberi embel-embel Islam, juga dianggap berkonotasi
kemunduran dan keterbelakangan, meskipun sekarang secara berangsur-angsur
banyak diantara lembaga pendidikan Islam yang telah menunjukkan kemajuan
[Suroyo, 1991: 77].
Pandangan ini sangat berpengaruh terhadap sistem pendidikan Islam,
yang akhirnya dipandang selalu berada pada posisi deretan kedua dalam
konstelasi sistem pendidikan di Indonesia, walaupun dalam undang-undang sistem
pendidikan nasional menyebutkan pendidikan Islam mesupakan sub-sistem
pendidikan nasional. Tetapi predikat keterbelakangan dan kemunduran tetap
melekat padanya, bahkan pendidikan Islam sering “dinobat” hanya untuk
kepentingan orang-orang yang tidak mampu atau miskin.
Dalam hal ini, maka pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini
memberi kesan yang tidak menggembirakan. Meskipun, kata Muchtar Buchori, tidak
dapat dipandang sebagai evidensi yang kongklusif dalam penglihatannya ialah
kenyataan, bahwa setiap kali ada murid-murid dari suatu lembaga pendidikan
Islam yang turut serta dalam lembaga cerdas tangkas atau lomba cepat-tepat di
TVRI, maka biasanya kelompok ini mendapatkan nilai terenda. Evidensi kedua
ialah bahwa partisipasi siswa-siswi dari dunia pendidikan Islam dalam kegiatan
nasional seperti lomba Karya Ilmiah Remaja menurut kesan saya sangat rendah,
dan sepanjang pengetahuan saya belum pernah ada juara lomba ini yang berasal
dari lembaga pendidikan Islam [Suroyo, 1991:77]. Hal ini, merupakan suatu
kenyataan yang selama ini dihadapi oleh lembaga pendidikan Islam di Indonesia.
Dalam konfigurasi sistem pendidikan nasional, pendidikan Islam di
Indonesia merupakan salah satu variasi dari konfigurasi sistem pendidikan
nasional, tetapi kenyataannya pendidikan Islam tidak memiliki kesempatan yang
luas untuk bersaing dalam membangun umat yang besar ini. Apabila dirasakan,
memang terasa janggal, bahwa dalam suatu komunitas masyarakat Muslim,
pendidikan Islam tidak mendapat kesempatan yang luas untuk bersaing dalam
membangun umat yang besar ini. Apalagi perhatian pemerintah yang dicurahkan
pada pendidikan Islam sangatlah kecil porsinya, padahal masyarakat Indonesia
selalu diharapkan agar tetap berada dalam lingkaran masyarakat yang sosialistis
religius [Muslih Usa, 1991:11]. Maka, dari sinilah timbul pertanyaan,
bagaimanakah kemampuan pengelola pendidikan Islam mengatasi dan menyelesaikan
problem-problem yang demikian?
Realitas pendidikan Islam pada umumnya memang diakui mengalami
kemunduran dan keterbelakangan, walaupun akhir-akhir ini secara
berangsur-angsur mulai terasa kemajuaannya. Ini terbukti dengan berdirinya
lembaga-lembaga pendidikan Islam dan beberapa model pendidikan yang ditaarkan.
Tetapi tantangan yang dihadapi tetap sangat kompleks, sehingga menuntut inovasi
pendidikan Islam itu sendiri dan ini tentu merupakan pekerjaan yang besar dan
sulit. A. Mukti Ali, memproyeksikan bahwa kelemahan-kelemahan pendidikan Islam
dewasa ini disebabkan oleh factor-faktor seperti, kelemahan dalam penguasaan
sistem dan metode, bahasa sebagai alat untuk memperkaya persepsi, dan ketajaman
interpretasi [insight], dan kelemahan dalam hal kelembagaan
[organisasi], ilmu dan teknologi. Maka dari itu, pendidikan Islam didesak untuk
melakukan inovasi tidak hanya yang bersangkutan dengan kurikulum dan perangkat
manajemen, tetapi juga strategi dan taktik operasionalnya. Strategi dan taktik
itu, bahkan sampai menuntut perombakan model-model sampai dengan
institusi-institusinya sehingga lebih efektif dan efisien, dalam arti
paedagogis, sosiologis dan cultural dalam menunjukkan perannya [H.M.Arifin,
1991:3].
3. Penataan Pendidikan Islam di Indonesia
Krisis pendidikan di Indonesia, oleh H.A. Tilaar [1991] secara
umum, diidentifikasi dalam empat krisis pokok, yaitu menyangkut masalah
kualitas, relevansi, elitisme dan manajemen. Berbagai indicator kuantitatif
dikemukakan berkenaan dengan keempat masalah di atas, antara lain analisis
komparatif yang membandingkan situasi pendidikan antara negara di kawasan Asia.
Memang disadari bahwa keempat masalah tersebut merupakan masalah besar,
mendasar, dan multidimensional, sehingga sulit dicari ujung pangkal
pemecahannya [Sukamto, 1992].
Krisis ini terjadi pada pendidikan secara umum, termasuk
pendidikan Islam yang dinilai justru lebih besar problematikanya. Karena itu,
menurut A.Syafii Maarif, bahwa situasi pendidikan Islam di Indonesia sampai
awal abad ini tidak banyak berbeda dengan perhitungan kasar di atas. Sistem
pesantren yang berkembang di nusantra dengan segala kelebihannya, juga tidak
disiapkan untuk membangun peradaban [A. Syafii Maarif, 1996:5]. Melihat kondisi
yang dihadapi, maka penataan model pendidikan Islam di Indonesia adalah suatu
yang tidak terelakkan. Strategi pengembangan pendidikan Islam hendaknya dipilih
dari kegiatan pendidikan yang paling mendesak, berposisi senteral yang akan
menjadi modal dasar untuk usaha pengembangan selanjutnya. Seperti kita ketahui,
bahwa lembaga-lembaga pendidikan seperti keluarga, sekolah, dan madrasah,
masjid, pondok pesantren, dan pendidikan luar sekolah lainnya tetap
dipertahankan keberadaannya.
Untuk penataan kembali pendidikan Islam, tanpaknya perlu kita
menoleh sejarah perkembangan pendidikan Islam pada abad ke-9, di mana dunia
Islam mulai mengenal sistem madrasah yang ternyata telah menimbulkan perubahan
radikal dalam sistem pendidikan Islam. Sistem madrasah yang diorganisasikan
secara formal, secara berangsur-angsur mengalahkan pusat-pusat pendidikan yang
lebih liberal. Inti kurikulum madrasah terpusat pada al-Qur’an, hadis, fiqh,
dan Bahasa Arab. Bentuk-bentuk pengetahuan yang tidak diperoleh di madrasah seperti
filsafat, kimia, astronomi, dan matematika, dipelajari secara individual dan
dalam lingkungan yang terbatas. Bahkan disiplin-disiplin ini ditempatkan di
bawah paying disiplin lain seperti ilmu perobatan [George Makdisi, Terjemahan
A. Syafii Maarif, 1996:3]. Keberadaan lembaga pendidikan Islam yang disebutkan
di atas cukup variatif, sekalipun mungkin peran dan fungsinya masih
dipertanyakan dalam konfigurasi pendidikan nasional. Untuk itu fungsi
pendidikan Islam dari lembaga atau tempat pendidikan tersebut, perlu dirumuskan
secara lebih spesifik, efektif, dan bermutu tinggi, agar dapat menjawab
tantangan yang dihadapi.
Kalau kita telaah literatur dalam pendidikan Islam, maka diketahui
bahwa fungsi dan tujuan pendidikan Islam diletakan jauh lebih berat tanggungjawabnya
bila dibandingkan dengan fungsi pendidikan pada umumnya. Sebab, fungsi dan
tujuan pendidikan Islam harus memberdayakan atau berusaha menolong manusia
untuk mencapai kebahagian dunia dan akhirat. Oleh karenanya, maka konsep
dasarnya bertujuan untuk melahirkan manusia-manusia yang bermutu yang akan
mengelola dan memanfaatkan bumi ini dengan ilmu pengetahuan untuk
kebahagiannya, yang dilandasai pada konsep spritual untuk mencapai kebahagian
akhiratnya.
Sebagaimana dikatakan para ahli, bahwa pendidikan Islam berupaya
untuk mengembangkan semua aspek dalam kehidupan manusia yang meliputi spritual,
intelektual, imajinasi, keilmiyahan; baik individu maupun kelompok, dan memberi
dorongan bagi dinamika aspek-aspek di atas menuju kebaikan dan pencapaian
kesempurnaan hidup baik dalam hubungannya dengan al-Khaliq, sesama manusia,
maupun dengan alam [H.M. Arifin, 1987:15]. Akan tetapi pada dataran
operasional, rumusan-rumusan ideal yang dikemukakan di atas belum terjawab,
sedangkan lembaga pendidikan Islam cukup variatif dalam berusaha melendingkan
konsep-konsep tersebut, namun belum berdaya dan posisi pendidikan Islam sendiri
masih terlihat begitu lemah.
Melihat kenyataan ini, maka inovasi atau penataan fungsi
pendidikan Islam, terutama pada sistem pendidikan persekolahan, harus
diupayakan secara terus menerus, berkesinambungan, dan berkelanjutan, sehingga
nanti usahanya dapat menjamah pada perluasan dan pengembangan sistem pendidikan
Islam luar sekolah. Di samping inovasi pada sisi kelembagaan, factor tenaga
pendidikan juga harus ditingkatkan aspek etos kerja dan profesionalismenya,
perbaikan materi [kurikulum] yang pendekatan metodologi masih berorientasi pada
sistem tradisional, dan perbaikan manajemen pendidikan itu sendiri. Untuk itu,
maka usaha untuk melakukan inovasi tidak hanya sekedar tanbal sulam, tetapi
harus secara mendasar dan menyeluruh, mulai dari fungsi dan tujuan, metode,
materi [kurikulum], lembaga pendidikan, dan pengelolaannya. Penataan pada
fungsi pendidikan Islam, tentu dengan memperhatikan pula dunia kerja. Sebab,
dunia kerja mempunyai andil dan rentang waktu yang cukup besar dalam jangka
kehidupan pribadi dan kolektif. Pembenahan pendidikan Islam dapat memilih
sasaran model pendidikan bagi kelompok masyarakat yang kurang beruntung di kalangan
orang dewasa. Perbaikan wawasan, sikap, pengetahuan, keterampilan, diharapkan
akan memperbaiki kehidupan sosio-kultural dan ekonomi mereka. Pilihan sasaran
berikutnya dapat ditujukan bagi pendidikan terhadap anak. Konsumsi pendidikan
dan hiburan untuk kelompok ini, belum tanpak sangat berkembang, kecuali
usaha-usaha yang secara naluriah telah diwariskan dari waktu ke waktu [Suyata,
1992:28].
Perbaikan fungsi pendidikan Islam pada tahap lanjut, harus
dilakukan menjadi satu kesatuan dengan lembaga pendidikan Islam lainnya yang
terkait erat sekali, seperti masjid dengan kesatuan jamaahnya,
madrasah/sekolah, keluarga muslim, masyarakat muslim di suatu kesatuan
territorial, dan lain sebagainya. Dalam konteks tersebut, maka
sekurang-kurangnya ada empat jenis lembaga pendidikan Islam yang dapat
mengambil peran ini, yaitu pendidikan Pondok Pesantren, Masjid, Madrasah,
pendidikan umum yang bernafaskan Islam.
Dalam hal ini, Soeroyo, menempatkan jenis lembaga pendidikan yang
disebut pertama dan kedua, sebagai lembaga pendidikan Islam yang dapat
mengembangkan atau memperluas sistem pendidikan non formalnya pada pelayanan
pendidikan yang meliputi berbagai jenis bidang misalnya, seperti bidang
pertanian, peternakan, elektronik, kesehatan, kesenian, kepramukaan, kemajuan
IPTEK, pelbagai keterampilan, kesenian dan sebagainya. Sedangkan Pondok
pesantren, seharusnya memperluas pelayanan pendidikan kepada masyarakat secara
wajar dan sistematis, sehingga apa yang disajikan kepada masyarakat, akan tetap
terasa bermuara pada pandangan serta sikap Islami, dan terasa manfaatnya bagi
kehidupan sehari-hari. Begitu juga mengenai aktivitas masjidnya. Pondok
Pesantren dan Masjid perlu menggalang kerjasama dengan para ulama dan para
cendekiawan Muslim yang tergabung dalam Perguruan Tinggi yang ada di
sekitarnya. Adapun peranan jenis pendidikan yang ketiga dan keempat, yaitu
pendidikan Madrasah dan Pendidikan umum, adalah dalam upaya menemukan pembaruan
dalam sistem pendidikan formal yang meliputi metode pengajaran baik agama
maupun umum yang efektif. Inovasi dibidang kurikulum, alat-alat pelajaran,
lingkungan yang mendidik, guru yang kreatif dan penuh dedikasi dan sebagainya
[Soeroyo, 1991: 77-78].
Sebenarnya sudah ada lembaga pendidikan Islam yang menjadi sekolah
favorit dan banyak diminati, namun secara umum aspirasi masyarakat terhadap
sekolah-sekolah Islam masih rendah. Dalam banyak hal, ini kembali berkorelasi
dengan ketidak berdayaan lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam memenuhi logika
persaingan dalam memenuhi tuntutan perkembangan zaman [H.M. Arifin, 1991: 99].
Atau munculnya Madrasah Aliyah Khusus [MAK] yang dapat dikategorikan sebagai
fenomena sekolah unggulan Islam, dan betul-betul merupakan asset pendidikan
Islam yang turut berpartisipasi dalam dunia pendidikan dengan sekolah-sekolah
umum lainnya. Tetapi juga belum mendapatkan posisi yang menguntungkan dalam
konfigurasi pendidikan nasional.
Pada sisi lain, muncul pula pendidikan luar sekolah bagi anak-anak
muslim seperti TPA [Taman Pendidikan al-Qur’an] sebagai kekuatan pendidikan
Islam baru yang muncul dengan metode dan teknik baru yang dapat menghasilkan
output yang mampu membaca al-Qur’an dalam waktu yang relatif singkat. Dapat
kita saksikan produk TPA dengan bangga diwisuda oleh seorang Menteri bahkan
tidak tanggung-tanggung oleh Presiden. Tetapi sampai saat ini belum terpikirkan
tindak lanjut dari usaha pendidikan ini, karena setelah wisuda selesailah usaha
pendidikan tersebut.
Kepincangan-kepincangan pendidikan Islam yang dikemukakan di atas,
semestinya tidak kita bicarakan berlarut-larut. Tetapi kita harus berusaha
untuk mengoreksi secara cermat program-program pendidikan yang sedang
dijalankan, sehingga pemisah antara pendidikan Islam dengan pendidikan umum
dalam konfigurasi pendidikan nasional dapat diatasi. Tujuan dan fungsi
pendidikan Islam, metode, materi [kurikulum] harus dikoreksi dan direvisi
secara berani dan membenahi keorganisasiannya [kelembagaan], sehingga menarik
minat manusia didik tanpa mengurangi prinsip-prinsip ajaran dari sumber pokok
Islam. Dengan demikian, pendidikan Islam akan kembali solid dalam memberdayakan
umat Islam di Indonesia yang sedang menuju pada masyarakat industrial dengan
berbagai tantangan etos kerja, profesionalisme, dan moralitas. Bagaimapun juga
kedekatan dengan kebenaran, dan al-Khaliq yang dimiliki oleh ruh dan
nafas pendidikan Islam, keunggulannya harus tetap diraih dengan usaha. Atau,
kita akan menerima kemarahan Allah karena “membengkalaikan” pendidikan Islam,
yang dinilai oleh para ahli sebagai satu-satunya lembaga pendidikan yang dapat
menghidupkan keseimbangan perkembangan dalam setiap dari manusia.***
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Syafii Maarif, 1996, Keutuhan dan Kebersamaan dalam
Pengelolaan Pendidikan Sebagai Wawasan Pendidikan Muhammadiyah, Makalah
pada Rakernas Pendidikan Muhammadiyah di Pondok Gede, Jakarta.
HM. Arifin, 1991, Kapita Selekta Pendidikan, Bina Aksara,
Jakarta.
Hifni Muchtar, 1992, Fakta dan Cita-Cita Sistem Pendidikan
Islam di Indonesia, UNUSIA No. 12 Th. XIII, UII, Yogyakarta.
Muslih Usa, 1991, Pendidikan Islam di Indonesia, Antara Cita
dan Fakta [Suatu Pengantar], Tiara Wacana, Yogyakarta.
Suyata, 1992, Penataan Kembali Pendidikan Islam pada Era
Kemajuan Ilmu dan Teknologi, UNISIA No. 12 Th. XIII, UII, Yogyakarta.
Soeroyo, 1991, Berbagai Persoalan Pendidikan, Pendidikan
Nasional dan Pendidikan Islam di Indonesia, Jurnal Ilmu Pendidikan Islam,
Problem dan Prospeknya, Volume I, Fak. Tarbiyah IAIN Suka, Yogyakarta.
H.A.R. Tilaar, 1991, Sistem Pendidikan Nasional yang Kondusif
Bagi Pembangunan Masyarakat Industri Modern Berdasarkan Pancasila, Makalah
Utama Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional V.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar